ANDI TRINANDA

Penetapan Postur Kabinet : Fase Awal Politik Pemerintahan Jokowi atau Pemerintahan JK ?


Kelompok kerja (pokja) pemerintahan transisi Jokowi-JK sudah hampir rampung menyelesaikan tugasnya. Pokja pemerintahan Transisi Jokowi –JK ini secara krusial telah menentukan cetak biru quo vadis tata kelola pemerintahan Jokowi JK selama 5 tahun kepemimpinannya kedepan. Tradisi baru dalam alih kekuasaan politik di negara ini – sekaligus merupakan Fase awal politik pemerintahan Jokowi – JK tersebut, telah berhasil merumuskan matrikulasi mengenai model, struktur dan karakter serta kriteria pejabat publik yang akan mengisi pos sebagai pembantu Jokowi – JK sebagai menteri.

Dan kemarin, (15/9) sambil cengengesan, Presiden terpilih Jokowi dalam konferensi pers-nya telah menetapkan postur pemerintahan kabinetnya yang akan bekerja selama 5 tahun kedepan setelah ia resmi di lantik 20 Oktober 2014 mendatang.

Persoalannya, apakah fase krusial yang telah terbentuk tersebut sejatinya telah mencerminkan implementasi atas konsistensi idealitas visi politik Jokowi seperti yang pernah diretorikakan kepada publik pada saat merebut hati rakyat ? Jawaban atas pertanyaan itu memang mungkin terlalu dini untuk di justifikasi dalam konteks menimbang secara kritis atas sejumlah pernyataan Jokowi yang sepertinya “berdamai” dengan Jusuf Kalla yang mengedepankan realitas politik ketimbang bertahan dengan pakem dramaturgi pencitraan personal melalui statement politik selama ini. Atau mungkinkah keputusan mengenai komposisi Kabinet pemerintahan Jokowi tersebut merupakan salah satu indikator bahwa sejatinya legitimasi personal Jokowi amat lemah. Ia terbukti hanya ditopang oleh dramaturgi pencitraan politik yang pada akhirnya sembrono karena lemahnya retorika yang diproduksi lewat berbagai statement yang mengidentifikasi politik marginal personal Jokowi yang secara persuasif telah berhasil menarik simpati rakyat secara instan – sehingga memenangkan kontestasi pilpres. (lebih…)

Menyoal Fenomena Golput


Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 banyak dikatakan sebagai penentu bagi awal kematangan sistem demokrasi Indonesia. Dikatakan awal kematangan demokrasi, karena sejak tumbangnya negara Orde Baru, lebih dari satu dasawarsa ini, bangsa Indonesia belajar dengan biaya sosial dan financial amat mahal untuk menjadi sebuah bangsa yang demokratis.

Walaupun proses pembelajaran berdemokrasi tersebut berjalan amat tertatih dan dibarengi dengan berbagai ujian munculnya ragam pergeseran pemikiran dalam menyoal wajah politik dan demokrasi di Indonesia, namun kita masih meyakini bahwa pilihan yang kita ambil saat ini merupakan suatu keniscayaan positif tentang masih adanya sikap optimisme masa depan bagi sebuah bangsa. Ibarat ujian, bangsa ini memang lulus belajar berdemokrasi, walaupun dengan nilai yang amat minim atau baru sekedar lulus.

Tentu, salah satu nilai ukuran kelulusan tersebut dilihat dari bagaimana perjalanan bangsa ini melaksanakan pesta demokrasi, yaitu pemilu yang telah digelar selama 3 kali dan ratusan kali Pemilukada yang berulang-ulang telah digelar semenjak reformasi. Dari pemilu tersebut, kita melihat sejauhmana partisipasi masyarakat sebagai pemilih yang merupakan bagian paling penting dari esensi legitimasi dari sistem demokrasi kita itu.

Dalam konteks ini, tentu kita amat cemas menilai, apakah legitimasi dari sistem demokrasi kita ini mampu menjadi pilar penting kehidupan berbangsa bernegara, jika dari periode pemilu ke pemilu berikutnya, angka partisipasi pemilih bukannya semakin tinggi, malah semakin turun. Bahkan diprediksi oleh berbagai kalangan, angka partisipasi pemilu untuk Pileg 2014 ini akan mengalami dekilinasi, alias makin terjun bebas dari pemilu 2009 lalu.

Jika hal itu terjadi, maka tentu ada sesuatu yang salah, dan kesalahan itu terus melembaga karena kita selalu abai pada esensi korektif fakta perjalanan demokratisasi itu. Pengabaian atas esensi korektif fakta perjalanan demokratisasi karena oleh elit politik kerap dimaknai sebagai kemunduran demokrasi.

Contoh serius dari pengabaian tersebut adalah tidak efektifnya dan makin jenuh serta skeptisnya masyarakat dalam menjalankan pemilukada. Jika dirata-ratakan, setiap minggu Indonesia melaksanakan pesta demokrasi pemilukada, itu, baik dilevel Provinsi, Kabupaten dan Kota, hingga kepala desa. Jika di total, berapa ongkos politik dan uang yang beredar di Indonesia khusus pelaksanaan pemilukada tersebut. Faktor skeptis dan tingginya angka kejenuhan masyarakat dalam menjalankan Pemilukada dengan segala implikasi politik dan sosialnya selama ini, secara empiris sedikit banyaknya menyumbang kontribusi terhadap penilaian masyarakat tentang Pemilu. Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.

Faktor itulah yang menurut saya menyumbang persepsi tingginya fenomena angka golput dari pemilu ke pemilu berikutnya. Seperti diketahui, fenomena tidak mencoblos, alias golput dalam pemilu makin meningkat.  Atau dengan kata lain tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif pasca reformasi cenderung menurun. (lebih…)

Jokowi dan PDIP Menang, Megawati tetap “Presidennya”


Geliat perpolitikan nasional jelang dilaksanakannya pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 semakin panas. Bahkan iklim tersebut diduga akan terus meninggi tensinya jelang pilpres Juli 2014 mendatang. Namun demikian, walau tensi makin memanas, diharapkan iklim demokrasi Indonesia semoga tidak terdestruksi oleh anarkisme politik yang dapat mencederai esensi demokrasi kita.

Dalam konteks pemilu 2014 ini, salah satu fenomena yang paling mencolok dan membuat tensi politk meninggi adalah karena munculnya seorang Jokowi. Mantan walikota Solo yang sukses menjadi gubernur dengan menyedot banyak perhatian dan simpati public dengan gaya kepemimpinannya yang dianggap genuine ditengah kelaziman kultur birokrat Indonesia.

Singkat kata, Jokowi bermetamorfosis dari hanya sebagai tokoh lokal, kemudian menjelma menjadi tokoh nasional yang amat diperhitungkan. Ia menjadi effect kejut bagi terciptanya sebuah harapan “emosial” rakyat terhadap karakteristik kepemimpinan nasional. Diblow-up habis-habisan secara massif oleh media, Jokowi menjelma menjadi tokoh paling penting dalam perpolitikan nasional saat ini. Karena faktor inilah kemudian seorang Megawati Soekarno Putri mengikhlaskan sekaligus menggantungkan target politiknya kepada pria penyuka musik metal ini. Jokowi melesat ibarat anak panah menancapkan elektabilitasnya diatas rata-rata mendahului tokoh-tokoh politik penting lainnya di negeri ini. Saat ini, bagi sebagian masyarakat ia menjadi harapan laten sekaligus menjadi kecemasan elit politik lain – yang bisa jadi akan menggerus eksistensi dan konstalasi wajah politik dan demokrasi Indonesia di masa depan.

(lebih…)

Menguji Ketegasan Wasit Pemilu 2014


Esensi nilai dalam sebuah kompetisi/pertarungan, sejatinya ditentukan oleh adanya semangat kejujuran. Terminologi yang kerap dipakai dalam aturan kompetisi/pertandingan/pertarungan itu disebut fair play. Ketika fair play di dengung-dengungkan sebagai sebuah keniscayaan dalam sebuah kompetisi, maka pretensi terhadap hasil yang diperoleh, oleh siapapun pihak atau stakeholders dalam menyoal kalah dan menang dalam ajang pertarungan, maka akan menjadi nilai legitimasi yang akan menentukan sejauhmana tingkat penerimaan publik terhadap hasil tersebut.

Dengan penyelenggaraan kompetisi yang dibangun diatas semangat fair play itu, maka sejatinya pula nilai kemenangan akan dimaknai sebagai konsekwensi dari keberhasilan stakeholders merancang-bangun komitment, kerja keras, dan orientasi merebut mahkota keyakinan dari sebuah kemampuan, sehingga berhasil menang dalam pertandingan.

Sebaliknya, apabila sebuah kompetisi tidak menunjukkan adanya kejujuran dan semangat fair play, maka implikasinya bukan saja terkait pada persoalan eksistensi dan legitimasi, tapi juga munculnya distorsi dan negasi publik dalam memaknai hasil (terutama bagi yang menang dengan curang) dalam sebuah kompetisi. Rumus hasil dari ketidakjujuran tersebut sangat simplistis. Yang menang akan tidak diakui kemenangannya, dan yang kalah akan terus merongrong kewibawaan dan menggerus legitimasi pihak yang menang.

Oleh karenanya, dalam konteks apapun patologi yang mendera dan mencederai semangat fair play dalam sebuah kompetisi adalah kecurangan. Dalam kompetisi politik pemilu yang memperebutkan kursi kekuasaan misalnya, kecurangan akan senantiasa mengintai. Bayang-bayang kecurangan akan terus menghantui mengingat singgasana kekuasaan politik begitu menyilaukan, sehingga orang tergoda melakukan apa saja melalui berbagai cara untuk mendudukinya.

Dalam perspektif inilah peran wasit (sebagai penyelenggara pemilu) diuji indenpendensinya. Diuji kenetralannya, diuji kejujurannya dan diuji ketegasannya dalam meniupkan peluit tanda adanya kecurangan dalam pemilu. Sebab wasit, dalam hal ini KPU bukan saja menentukan kualitas dan nasib masa depan demokrasi Indonesia, ia juga, bersama lembaga-lembaga pengawas dan pemantau pemilu independen, menjadi penentu antusiasme publik sebagai bejana penentu indikator nilai demokrasi yang konstruktif yang dimanifestasikan oleh publik dengan minimnya komplain dan gugatan terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu.

(lebih…)

Belajar dari Kisah Aisyah


Suatu ketika saya menyaksikan berita di televisi swasta. Dalam salah satu segmen, berita itu mengangkat perjuangan seorang anak kecil usia sekitar 8 tahun-an yang setiap hari menggowes sepeda yang dimodifikasi (disebut gerobak becak) untuk membawa ayahnya yang tergolek sakit tak berdaya. Ia bernama Aisyah (Siti Aisyah Pulungan) yang dengan telaten mengurus ayahnya dari suatu tempat ke tempat lain karena sudah tidak mampu lagi tinggal di sebuah rumah. Ayahnya (M Nawawi Pulungan, 56) yang dulu berprofesi sebagai sopir itu, sudah tidak mampu lagi bangun, apalagi bekerja untuk menafkahi hidupnya dan anaknya, Aisyah.

Liputan pemberitaan tersebut membuat saya miris, sekaligus malu terhadap diri saya sendiri. Miris karena menyaksikan bagaimana bocah delapan tahun yang sudah ditinggal Ibunya karena bercerai dengan ayahnya selama 7 tahun itu, seolah-olah hidup di negara antah berantah. Tak berpenduduk dan tak bertuan. Bayangkan, selama lebih setahun lebih Aisyah merawat ayahnya wara-wiri di kota besar, apapun ia lakukan, untuk sekedar makan agar bisa hidup. Jika ada uang lebih ia akan membeli obat untuk ayahnya.

Ia melakukannya dengan semangat walaupun kemiskinan papa menggelayut dalam hidupnya. Pertanyaanya adalah apakah tidak ada satu orang-pun yang iba menyaksikan keseharian bocah perempuan ini membawa-bawa ayahnya melewati keramaian kota Medan ? Apakah sudah tidak ada naluri kemanusiaan bagi masyarakat yang melihatnya ? Apakah tidak ada aparat atau petugas se-antero kota Medan yang menyaksikan kisah tragis tersebut ? Pertanyaan-pertanyaan itu, kontan menggentayangi fikiran saya.

Beruntung media menangkap dan menggugat aksi Aisyah tersebut kepada publik, yang kemudian baru setelah itu respons positif atas pemberitaan tentang Aisyah mengalir deras dari pejabat walikota Medan. Apapun motifnya, saya berfikir positif dan mengapresiasi tindakan Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, yang membawa Nawawi dan Aisyah ke RSU Pirngadi Medan, Rabu (19/3) malam, begitu kasus Aisyah diberitakan di media massa. Walaupun sejatinya adalah sangat elok dan bijaksana apabila kepedulian dan pertolongan kepada Aisyah itu seharusnya diberikan sebelum ia ditemukan media. Saya membayangkan lama dan menderitanya Aisyah hidup dalam ketidakpedulian orang-orang disekitarnya. Setahun lebih bocah sekecil itu berkelahi dengan waktu menggenjot becak gerobak, sebelum akhirnya ia “ditemukan” media. (lebih…)